The Hunger Games Mockingjay Pin"), auto;} Purple Fire Pointer

Sabtu, 28 Juli 2012


By: Martin Dennise
(SMAN 7 PEKANBARU XI IPA 1)


Tepat tanggal 2 Mei 2012, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional.  Di tengah hingar-bingar upacara dan perayaan lain di sekolah-sekolah hingga pergturuan tinggi, kita patut prihatin terhadap kualitas pendidikan di Indonesia yang kian merosot.  Di tingkat ASEAN saja, kita sudah jauh tertinggal dari Singapura, Brunei, Malysia, Thailand dan Philipina. Untuk tingkat dunia, peringkat pendidikan Indonesia berada di urutan 69 dunia.  Negara Finlandia masih menduduki peringkat 1 dunia.  Bahkan Korea Selatan dan Jepang ada di peringkat 2 dan 3 dunia.    

Data yang dirilis UNDP terkait Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2011, Indonesia berada di peringkat 124 dari 187 negara.  IPM mengukur indeks pembangunan manusia suatu Negara berdasarkan tiga dimensi dasar yang tercermin dalam taraf pendidikan, kesehatan, serta kemampuan daya beli.  Dari ketiga dimensi, kontribusi sector pendidikan adalah yang tertinggi.

Tampaknya siapapun presiden dan menteri pendidikan yang menjabat, pendidikan Indonesia sudah sangat sulit diperbaiki.  Sistem pendidikan di Indonesia ibarat benang kusut.  Mbulet.  Susah diuraikan mulai dari mana.  Susah dicari ujung pangkalnya.  Benang kusut itu kian hari kian tak berbentuk.  Jadi harus dimulai dari mana kita akan memperbaikinya?

Mengapa pendidikan di Indonesia berubah bentuk menjadi benang kusut?  Ada banyak faktor tentu saja yang hampir semuanya penyebab keterpurukan.  Faktor utama yang patut dijadikan penyebab adalah sistem pengelolaan pendidikan yang benar-benar tidak tersistem.  Pemerintah belum pernah secara tuntas mengembangkan sistem pendidikan mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi yang betul-betul tersistem dalam bentuk keberlanjutan yang konsisten.  Kebijakan-kebijakan yang ada selalu parsial.

Faktor kedua adalah kualitas tenaga pendidik yang memang masih belum dapat dikatakan baik.  Di Finlandia, Negara peringkat I bidang pendidikan, semua guru tingkat dasar wajib berpendidikan S2.  Kualitas yang baik ini masih ditunjang dengan sistem pengajaran yang luar biasa sempurna.  Misalnya setiap kelas hanya dibatasi 20 murid dengan didampingi 3 guru sekaligus yang mempunyai keahlian untuk mendidik, membibing, dan mngarahkan siswa.  Di Indonesia, para guru memang berlomba-lomba untuk menempuh pendidikan lebih tinggi (sarjana), namun ternyata itu hanya sekedar formalitas.  Mereka hanya mengejar ijazah dari perguruan tinggi yang kurang berkualitas (bahkan tak terdengar) agar dapat meningkatkan gaji.  Bukan untuk kepentingan memperbaiki kualitas pengajaran bagi siswa.  Selain kualitas pendidikan, kualitas moral sebagian tenaga pendidik juga perlu dipertanyakan.  Banyak guru yang membuka les privat bagi para siswanya yang punya uang.  Siswa-siswa yang mengikuti privat ini akan memperoleh kemudahan dan fasilitas yang luar biasa.  Misalnya mendapat tambahan nilai, memperoleh bocoran soal, hingga upaya-upaya kotor lain.  Ini jelas terjadi diskriminasi antara siswa kaya dan siswa miskin.  Betul-betul tak adil.

Faktor ketiga yang sangat menghancurkan dunia pendidikan di Indonesia adalah maraknya korupsi mulai pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa dan bahkan  hingga di sekolah-sekolah.  Pada tahun 2012 ini anggaran pendidikan meningkat menjadi   Rp. 286,56 triliun atau sekitar 20,20% dari total APBN Rp 1.418,49 triliun (tahun 2011 anggaran pendidikan 248,98 triliun atau 20,25 persen dari total APBN Rp. 1.229,56 triliun).  Tapi berapa persen anggaran yang betul-betul termanfaatkan sekolah-sekolah dan dapat dinikmati siswa untuk meningkatkan pendidikan?  Dana dan sumber daya yang demikian besar ternyata bukan untuk membangun dunia pendidikan Indonesia, tapi patut diduga masuk kantong oknum pejabat, oknum anggota DPR dan makin membesarkan kekuatan keluarga mafia (yang entah sengaja atau tidak) menyebabkan hancurnya negara ini dengan adanya kehancuran dunia pendidikan.  Dari beberapa berita tampak, misalnya Dana Alokasi Khusus (DAK) di suatu kabupaten yang nilainya 140 M, sebesar 70 M diduga menguap alias dikorupsi.  Ironis memang.  Penulis sendiri pernah mempunyai pengalaman serupa yang sungguh sangat mendirikan bulu kuduk.  Pada tahun 2007-an, ada salah seorang kurir DPR yang menawarkan proyek ke UMM dengan nilai Rp. 12 M lebih untuk pengembangan IT kampus.  Proposal pun kami buat, dan pertemuan intens secara teknis juga kami lakukan bersama.  Semua sudah matang, namun di akhir pembicaraan, dari senilai Rp. 12 M itu, para kurir DPR minta fee 40% (Rp. 4,8 M).  Oleh bapak rector, protek itu langsung ditolak hari itu juga tanpa negosiasi lebih lanjut.  Tindakan yang sangat tepat, karena UMM pasti akan kesuilitan mencarikan bukti-bukti pengeluaran senilai Rp. 4,8 M.  Gila memang.    Korupsi di negeri ini sudah demikian marak.  Pejabat pemerintah dari pusat hingga daerah ramai-ramai bancakan DAK ini.  Dan anehnya, koruptor-koruptor ini selalu saja lolos dari tuntutan oleh Kejari.  Semua bebas, karena korupsi ini melibatkan banyak pihak dalam sistem mafia DAK Pendidikan. 

Faktor keempat adalah sistem pendistribusian anggaran yang selama ini selalu semrawut.  Kesemrawutan pendistribusian anggaran berakibat banyaknya dana yang bocor, tidak sampai ke sasaran, dan bahkan beberapa tidak terserap.  Kenaikan anggaran pendidikan 2012 menjadi Rp 286 triliun harus diiringi dengan perbaikan mekanisme penyaluran agar cepat, tepat guna, serta tepat sasaran. Dengan begitu efektifitas, keterserapan anggaran, dan kemungkinan kebocoran anggaran di lapangan bisa dihilangkan.  Memang diperlukan kerja keras untuk semua itu, namun harus tetap dimulai.


 

Masih banyak faktor sebetulnya, namun tak akan penulis beber semua.  Yang jelas kita semua berkewajiban untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak-anak bangsa.  Masyarakat punya kewajiban mengawal dan mengawasi proses penggunaan anggaran yang dilakukan oleh dinas pendidikan dan sekolah-sekolah.  Masyarakat juga berhak untuk mengusulkan hal-hal terkait sistem pengajaran di sekolah, kebijakan sekolah yang menyimpang (pungli, pungutan buku, dll.) juga patut diprotes atau bahkan dilaporkan ke atasan yang lebih berwenang.  Dengan partisipasi aktif masyarakat, maka sedikit demi sedikit suatu hari nanti, kita dapat mengurai benang kusut pendidikan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ans!!